Senin, 02 November 2020
Langganan:
Postingan (Atom)
TEATER-ku~TEATER-mu~TEATER-qta
PROFESIONALISME KESENIAN
catatan Rudolf Puspa
Setiap rame rame “pesta demokrasi” (?) ; saya masih belum seratus persen terima ungkapan pesta demokrasi ini; banyak band, penyanyi dikontrak untuk ikut pentas di panggung kampanye. Di zaman orde baru hampir di dominasi musik dangdut. Kini agak beda karena banyak pemusik lagu lagu pop muncul. Kubaca koran kompas minggu 5 April 2009 yang mencatat bahwa ternyata para pemusik pop itu sebagian besar bersikap “profesional”; artinya hanya menerima kontrak untuk menghibur saja. Mereka tidak ikut mengkampanyekan partai yang mengontraknya. Adalah band Gigi, Raja, Di3va, The Changcuters, Cokelat yang menyatakan bahwa mereka bukan menyanyi untuk mengkampanyekan partai. Gigi tidak mau pakai kaos partai, menyuarakan yel yel partai, menyanyi duet dengan ketua partai, tapi Raja mau mengganti lirik lagu dengan nama parpolnya; yang hebatnya dia ikut kampanye PAN, Golkar,Gerindra dan PPD. The Changcuters mengatakan karena telah terlanjur kontrak dengan Sony Music Indonesia maka iapun terpaksa rela nyanyi di kampanye Demokrat karena Sony Music yang dikontrak Demokrat. Di3Va dikontrak 11 bulan oleh Gerindra dan memang mereka menjadi kader mereka.
Kesan selintas dari ucapan mereka itu membuatku merinding. Materialisme internasional sangat kuat mencengkeram dunia hingga saat ini walau krisis kapitalisme sedang terjadi. Apapun alasannya entah “profesionalisme” sebuah grup musik; namun alasan pokok di balik itu semua seperti yang secara transparan diakui mereka sendiri adalah adanya kontrak dengan tarif tertentu. Apa yang menjadi sikap mereka jelas sangat berbeda dengan partai. Secara implisit tentu para pengurus partai mengontrak mereka selain tujuan mendatangkan publik juga untuk mendongkrak kepercayaan publik terhadap partainya. Jika grup musik pujaan anak muda saja mau ikut di atas panggung kampanye maka ada kesan grup tersebut ikut mendukung sang partai. Siapa yang baca harian kompas tentang ungkapan mereka sebenarnya? Rakyat banyak jelas tidak. Dan para pengurus partai apa sudah tau sikap mereka itu? Kalau tau apa tutup mata aja. Toh kenyataannya orang banyak datang dan mengesankan pemusik dukung partai.
Aku melihat ini merupakan sandiwara konyol. Banyolan murahan. Sayangnya apa apa yang murahan di negeri ini justru menghasilkan duit milyaran. Caleg konyol, politisi busuk, partai penipu rakyat dan kini aduh sedih rasanya kok pemusik juga begitu. Kampanye isinya hanya tipu menipu. Nah sekarang siapa menipu siapa? Begitu takut miskinkah seniman musik kita? Atau takut kalau nolak nanti kalau sang partai menang takut nggak dapat proyek? Bagimana mau bermutu sebuah kampanye kalau isinya para penipu belaka? Mana nilai kampanyenya? Kini terbukti bahwa kampanye rapat umum sudah ketinggalan zaman. Sudah bukan waktunya lagi. Tapi memang dalam masa kampanye yang singkat nggak mungkin cukup waktu untuk mendatangi rakyat dalam jumlah besar. Ini membuktikan bahwa selama 5 tahun menanti pemilu ternyata partai memang tidak bekerja untuk rakyat sehingga rakyat tidak kenal dan tidak tau apa misi dan visi partai. Dan para pemusik kita pun hanya melihat berapa kontrak bisa didapat. Akhirnya semua hanya melihat uang belaka. Apa tidak cukup pemasukan selama 5 tahun bermusik sehingga harus ikut menipu rakyat?
Jika orang partai mampu melihat tentu akan memilih seniman musik yang mau dan mampu menmgobarkan kebenaran partai. Politisi saya rasa tau bahwa ungkapan seniman adalah jujur dan benar sehingga apa yang diungkapkan akan didengar orang banyak. Nah cari dong seniman yang memang mendukung gagasan partai baru dikontrak. Apa tidak sedih melihat orang rame berjingkrak ketika musik berbunyi dan meninggalkan tempat ketika orasi berbunyi? Tidak sadarkah hal itu? Saya masih ingat bagaimana para penyanyi terkenal dulu nyanyi di pemilu orde baru teriak hidup partai Golkar di setiap antara lagu lagu. Rame rame meminta rakyat mendukung dan di sahuuuut setujuuuuuu. Sekarang?
Saya mengakui bahwa kegiatan manusia adalah hak azasi manusia. Mereka ber hak memilih mau ikut kampanye atau tidak. Mau menghibur atau tidak. Mau cari uang saja atau tidak. Itu hak mereka. Tapi ketika ada yang berpikir ingin melihat seniman musik punya sikap profesional dalam arti bukan nilai uang; tentu saja juga hak mereka. Maka akan jelas pengertiannya kini profesional dalam hal apa? Idealisme kesenian? Idealisme partai? Idealisme uang? Komunis selalu slogannya adalah seni untuk rakyat. Kaum seniman idealis akan berkata seni untuk seni. Ada yang seni untuk kebudayaan. Seni untuk pendidikan. Dan banyak yang seni untuk cari uang. Semua tidak salah. Yang penting jangan terkesan hanya menjajakan diri. Menjajakan diri dalam arti tidak melihat siapa dan untuk apa pembelinya asal bayar. Bagaimanapun kesenian adalah kebudayaan yang semestinya mampu menggerakkan budaya manusia untuk menjadi manusia yang berbudaya. Punya sikap dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ada nilai kemaslahatan bagi orang banyak. Kapan seniman menjadi pembaharu dalam pendidikan karakter bangsa?
Saya jadi teringat Niji ketika ditanya kenapa nggak ikut buat lagu2 Islami? Jawabnya “solat saja masih belang2”. Jujur dan punya sikap yang benar. Tidak silau oleh uang. Yah sobat, Pramudya ingatkan bahwa kelemahan bangsa Indonesia adalah tidak produktif namun konsumtif. Maka kita akan selalu jadi pasar internasional dan bukan tuan dinegeri sendiri. wasalam.
Jakarta 5 April 2009.
____________________________________________
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~(sumber: teater-Keliling)